Jumat, 11 Januari 2008

Dia merampas semua yang kumiliki

Dalam hidupnya, barangkali Mama hanya berbuat satu kesalahan saja. Tapi akibat kesalahannya itu, harus aku yang menanggungkannya seumur hidup. Penderitaan yang tak pernah kubayangkan akan terjadi, bahkan dalam mimpiku yang paling ngeri sekalipun. Aku harus mengalaminya, sendiri. Dan Mama tak pernah tahu, tak mau tahu. Aku pun harus merahasiakannya, demi keselamatan kami. Perahasiaan yang membuat jati diriku tak pernah lagi dapat aku jelaskan.

1983. Aku belum lagi lahir. Dari cerita Mama, saat itu kehidupan ekonomi keluargaku sangat membaik. Mama dan papa cukup bahagia, dengan satu orang anak, Deni. Papa bekerja di Jakarta, di sebuah perusahaan pengembang real estate. Oh ya, keluargaku tinggal di Bogor, dan untuk menambah pendapatan keluarga, Mama membuka warung, dengan 2 pekerja. Lokasi rumah yang berdekatan dengan perkantoran, membuat warung cukup laris, terutama di jam-jam makan siang. Deni saat itu berumur 4 tahun, Papa 29, dan Mama 27.

Cerita Papa, Mama cukup cantik, mungil tapi berisi. Dan itulah yang lebih membuat kenapa warung menjadi ramai. "Tubuh Mamamu yang membuat warungnya ramai, bukan masakannya," begitulah kata Papa, berpuluh tahun kemudian. Waktu itu, Papa memang mulai curiga, Mama ada "main" dengan seseorang. Tapi, ia tak pernah bisa membuktikannya.

1984, aku belum juga lahir. Di awal Januari Mama hamil. Kabar ini begitu menggembirakan. Papa memang telah lama menginginkan Mama hamil lagi, dan berharap dapat anak perempuan. Sedangkan Mama, karena ingin mengurusi warung, ingin kehamilan itu ditunda. Tapi, nasib bicara lain, kehamilan terjadi. Papa bersuka cita, Mama agak murung, awalnya. Tapi, akhirnya Mama juga bahagia. Begitulah cerita Mama.

Maret 1984, aku masih 3 bulan dalam rahim. Kecurigaan Papa terbukti, setidaknya itu versi Papa. Di suatu siang, sekilas Papa melihat Mama di sebuah resto di Jakarta. Papa semula tak percaya. Tapi, akhirnya teryakinkan. Papa lalu mengikuti Mama, dan berakhir di sebuah hotel. Ya, Mama memang tidak sendirian. Dia bersama seorang lelaki, langganan warung, kepala bagian di sebuah instansi pemerintahan di Bogor. Perkelahian terjadi di kamar hotel itu. Mama menangis. Lalu pulang bersama Papa. Setelah itu vonis jatuh, Mama telah berselingkuh.

Versi Mama, lelaki itu relasinya, yang membuat Mama memperoleh harga sembako jauh lebih murah. Lalu Mama bersimpati. Ketika hamil itu, entah kenapa, Mama merasa jatuh cinta. Dan siang itu, setelah "bernegosiasi" dengan hatinya, Mama memang siap berselingkuh. Untuk pertama kali. Tapi Papa terlanjur datang, dan selingkuh pun tak terjadi.

Entah mana versi yang benar, tapi yang jelas, versi Papa lebih kuat. Papa marah, semarah-marahnya. Warung langsung ditutup, para pekerja dipulangkan. Dan Mama menjadi terdakwa, di sidang di depan keluarga. Mama bersumpah, dia belum berselingkuh, hanya akan. Tapi anggota keluarga nyaris tak ada yang percaya. Vonis jatuh, Mama cemar.

Implikasinya menyerang aku, yang masih tiga bulan di kandungan saat itu. Papa meragukan kalau aku anaknya. Bahkan, ketika Mama bersumpah di depan al-Quran pun, Papa tak percaya. Keluarga akhirnya berantakan. Tapi ucapan cerai tak pernah keluar dari mulut Papa. Ia mungkin masih mencintai Mama, tapi amarah dan cemburu telah membutakannya. Setelah kejadian itu, Mama tak pernah "disentuh" oleh Papa.

September 1984, aku lahir. Tak ada suka cita lagi. Hanya Mama yang bahagia, merasa punya teman, setelah semua menyalahkannya. Mama pun menumpahkan semua sayang padaku, setelah Bang Deni memperoleh perhatian berlebihan dari Papa. Papa bahkan tak menunggui persalinanku, hanya kakek dari Mama yang menunggu, dan mengazani aku. Karena, hanya Kakek juga yang percaya, anaknya belum berzinah.

Dan, penderitaan aku pun dimulai. Empat tahun setelah aku lahir, kakek berpulang. Praktis, Mama tak punya lagi pembela. Di rumah, Mama nyaris hanya jadi bahan cemoohan, dan babu yang tak bergaji. Uang belanja pun diserahkan Papa pada pembantu. Niat Mama untuk membuka warung pun tak lagi pernah disetujui. "Aku bakar rumah ini kalau kau membuka warung lagi!" Begitu ancam Papa, seperti diceritakan Mama.

Dalam kondisi itulah aku dibesarkan, nyaris tanpa sentuhan tangan Papa. Bahkan, sejak aku bisa bicara, Papa telah memanggilku "Njing". Mama bilang itu panggilan sayang, karena aku kecil, seperti bajing (tupai -red). Tapi, setelah SMP aku tahu, aku dipanggil Anjing. Dan karena Anjing, aku najis, tampar dan tendang jadi hal yang manis.

Saat aku masuk SD, Bang Deni masuk SMP. Kami nyaris berbeda 7 tahun. Tapi, dalam hal marah, dia tak berbeda dari Papa. Sejak SMP pula, Papa telah bercerita pada Bang Deni, kalau kami tak bersaudara, tak sedarah. Dan Bang Deni percaya, ia pun menjadi wakil Papa, jika papa bekerja. Aku kecil, dia besar. Sumpah-serapah, marah dan ludah, hal yang biasa aku tadah. Mama pun tak bisa membela, karena lidah Bang deni terlalu tajam menistanya. Oh ya, sejak aku masuk SD, pembantu sudah tak ada lagi di rumah. Papa dan Abang pun bebas melampiaskan dendam, justru hanya padaku.

Saat aku SMP, Mama baru bercerita, semuanya. Semalaman Mama menangis, merasa bersalah padaku. "Kalau tahu begini Nak, sudah sejak kecil kamu Mama buang, biar mereka tak bisa menyiksamu. Ini salah Mama." Aku tak bisa bilang apa-apa. Aku kemudian merasa demikian hina, kecil, dan tak berharga. Jika sebelumnya aku hanya tahu bahwa aku dibenci, kini aku tahu kenapa aku dibenci, kenapa mereka demikian kejam pada Mama. Di rumah, aku adalah jongos, mencuci mobil, membersihkan rumah, semua, juga WC dan kamar mandi, hal rutin yang aku lakukan sejak kelas 3 SD. Mama sendiri, aku nyaris tak pernah tahu apa yang dia rasakan. Dia jarang menangis, seingatku, hanya saat bercerita ketika aku SMP itulah dia menangis, untuk yang terakhir kali. Selebihnya, Mama bukan hanya bisu, juga tuli. Aku juga tak peduli. Aku tak peduli pada Mamaku yang hanya diam melihat aku dihajar, melihat ludah dan sumpah memenuhi mukaku. Aku tak peduli pada Mama yang hanya diam melihat aku digampar di depannya. Aku hanya tahu, aku bangsat di rumah ini.

Ajaibnya, situasi ini nyaris tak tercium oleh tetangga. Papa terlalu pandai bersandiwara, Bang Deni apalagi. Di lingkungan warga, Papa bhkan cukup terpandang, karena rajin menyumbang untuk masjid dan kepentingan sosial. Keluarga kami sangat mapan, dengan mobil 3. Papa pun sudah punya posisi sangat penting di perusahaannya. Adapun Mama, satu yang aku herankan, kenapa tubuhnya tak juga kurus oleh penderitaanku. Mama tetap saja segar. Meski aku tahu, sejak aku lahir, Mama dan Papa tak pernah lagi tidur bersama.

Tahun 1999, saat aku kelas 3 SMP, terjadi peristiwa besar. Tidak tahan ditendang oleh Bang deni, aku melawan. Aku tusuk dia dengan pisau dapur. Perutnya robek. Warga gempar. Tapi Papa cepat menetralisir, dan mengatakan kami bercanda yang kelewatan. Dia mendapat 8 jahitan. Tapi aku, hanya Tuhan yang tahu balasan yang aku terima. Papa meludah, menendang, memukul, menjambak, semuanya. Terakhir, dia kurung aku di kamar mandi, telanjang, sehari semalam, tanpa makan. Tubuhku yang kecil memang tak mungkin untuk melawan Papa. Sementara Mama, justru pergi ketika aku disiksa. Hanya Tuhan yang jadi penyaksiku, sayang,aku tak juga diberi kematian.

Seminggu di rumah sakit, Bang Deni pulang. penderitaanku kembali tak terbayangkan. Aku dia gunduli, dan punggungku penuh memar. Ya, mereka memang tak pernah berani memukulku di bagian wajah atau tangan, pokoknya yang kelihatan. Tapi punggung, paha dan pantatku, penuh dengan bekas siksaan mereka. Tapi aku sudah tak pernah menangis. Aku memang berteriak, tapi tidak menangis, tak pernah lagi menangis.

Tapi, malam setelah Bang Deni pulang, aku kembali menangis. Tengah malam, setelah seharian disiksa, aku tertidur pulas. Aku terbangun, saat kurasakan seseorang menindihku. Tapi kemudian mulutku dibengkap, dan aku hanya menangis dan meronta saat bajingan itu memperkosaku. Ya, Papa malam itu memperkosaku, dia menyodomi aku. Aku menangis, hanya menangis, juga saat dia mengancamku sambil meludahi mukaku, dan melemparkan sarung agar aku membersihkan sisa perkosaannya. Aku habis. Aku tak punya apa-apa lagi. Diriku pun telah dia miliki.

Sejak malam itu, aku berhenti salat. Kukira Tuhan telah terlalu tak adil padaku. Percuma aku meminta tolong padanya, Dia tak pernah mau menjawab permintaanku, bahkan menambah terus penderitaanku. Percuma aku percaya padanya. Tiidak, Tuhan tak bisa menolongku. Aku yang harus menolong diriku sendiri.

Sejak malam itu juga, setiap Minggu nyaris 2 kali bajingan itu akan memperkosaku. Dan setelah selesai, ia pasti akan meludahi mukaku. Aku telah tak takut lagi pada apa pun, juga ancamannya. Aku hanya sedang menyiapkan sebuah rencana, untuk membantai bajingan itu di kamarku.

2001, Terungkap, kalau selama ini Mama punya "kekasih" di luar. Hubungan mereka bahkan telah terjalin lama. Sebenarnya aku telah lama tahu, tapi mendiamkan saja. Papa, ya bajingan itu, baru tahu setelah Bang Deni memergoki Mama. Ia, mamaku tak berkelit, dan Papa hanya tertawa, saat tahu, lelaki itu adalah selingkuhan Mama 20 tahun yang lalu. Tak ada kemarahan apa pun dari Papa terhadap Mama. Mereka memang telah tak bertegur sapa. Tapi, Mama tidak tahu, setelah itu, setiap malam aku harus menjadi "sasaran" kemaran Papa. Ia seperti histeris saat menggarap aku, mulutnya menyumpah-nyumpah, memaki-maki Mama. Dan setelahnya, ia akan menghadiahi lagi ludah ke mukaku.

Saat mulai masuk kelas 3 SMA, kurasakan hal yang aneh dalam diriku. Aku merasa gampang tertarik pada lelaki. Aku menyukai guru olahragaku. Sayang, dia tampaknya tahu, dan mengancamku. Perubahan ini memang telah kurasakan sejak mulai SMA, di mana aku begitu terangsang pada film porno, justru saat melihat si lelaki, bukan perempuannya. Ya, kusadari kini, aku telah menjadi homoseks, penyuka sejenis. Ini semua gara-gara bajingan itu, orang yang oleh Mama selalu dia yakinkan sebagai ayahku. Kondisiku ini membuat aku limbung. Telah dua kali aku mengirim surat konsultasi ke media, tapi tak ada satu pun yang berbalas. Aku bingung.

Bajingan itu sendiri, telah setahun lebih tak pernah lagi berani menyentuhku. Ia takut setelah aku berani melawan, dan menghajarnya dengan berpuluh pukulan, sampai mata dan giginya patah. Ia tak berani lagi, bahkan dia diam, saat aku yang kini meludahi mukanya. Ia tak berani, saat Bang deni, yang telah tamat dan bekerja, tinggal di Jakarta. Ia tak berani, karena tak punya pembela, bajingan yang sama. Ia bahkan lebih sering tinggal di Jakarta, di rumah Deni yang dia belikan.

Tapi, perlawananku tampaknya sia-sia. Kehidupanku telah terlalu jauh berubah. Kini aku terlalu gampang terangsang pada kaum sejenisku. Aku sudah mencoba melawan keinginan itu, tak pernah berhasil. Seperti aku yang tak pernah berhasil mengukuhkan niat untuk membunuh Papaku. Aku terlalu takut, aku terlalu takut... Ahh, entah apa yang kini dapat aku lakukan.

www.balikami.com

Tidak ada komentar: