Jumat, 11 Januari 2008

Dia menghinaku setiap malam

Semula, kehidupan rumah tanggaku berjalan normal. Kesibukan nyaris membuat pertengkaran tak hadir di rumah. Apalagi, kelucuan anak kami yang baru berumur 2,5 tahun, Sista, membuat rumah selalu penuh tawa. Karena itu, aku acap merasa memiliki keluarga yang sempurna. Sebagai istri, aku punya suami yang sayang, sebagai ibu, aku punya anak yang manis, sebagai wanita, aku pun berkarier, punya penghasilan sendiri, yang membuatku punya nilai lebih daripada wanita atau istri yang lain. Sungguh, puji Tuhan atas karunia itu.

Oh ya, suamiku, Rinaldi termasuk lelaki penyabar. Mungkin karena itulah, kariernya di kantor juga sabar sekali naik. Kadang aku berpikir, Aldi --itu panggilannya-- seorang pria yang gampang merasa bahagia. Ia enteng saja menjalani hidup. Pagi ke kantor, sore di rumah, bermain dengan Sista. Berbeda dari aku yang cukup sibuk, pagi ke kantor, sore aku masih pergi kerja lagi, bisnis MLM. Dan hasilnya, secara finansial aku mandiri. Penghasilanku lebih banyak dari Aldi. Dan hal itu tak membuat keretakan apa pun. Aldi tak menjadi kecil hati, aku tak berbangga diri. Semua itu rezeki keluarga kami, terutama Sista.

Dua bulan setelah Sista ulang tahun ke-3, Aldi ditugaskan ke Cilacap. dan seperti biasa, ia menerima. Alasannya, sebagai PNS dia tak punya posisi tawar. Dalih yang dicari-cari, padahal aku yakin, dengan "pelicin" sedikit, Aldi akan tetap dapat bertugas di Semarang. Ya begitulah, Senin-Jumat ia di Cilacap, Sabtu pagi, kadang Jumat malam, ia telah kembali ke Semarang. Praktis, kami hanya bertemu dua hari dalam seminggu. Dan Aldi tampaknya lebih banyak kangen ke Sista daripada aku. Aku maklum, dan tak cemburu.

Kejarangan bertemu ini tak membuat masalah pada kami berdua, pada awalnya. Aku kian disibukkan dengan bisnis MLM-ku yang memang sangat menjanjikan, meski kadang harus membawa Sista, jika dia rewel. Kesibukan ini juga yang membuat aku dapat melupakan saat-saat ketiadaan Aldi, sampai...

Suatu hari, aku bertemu dengan Agung, dalam sebuah pertemuan bisnisku. Agung ini mantan pacarku. Kami berpisah karena perbedaan keyakinan dan ketaksetujuan orang tua karena perbedaan itu. Perjumpaan ini membuat semua kenanganku bersamanya kembali lagi. Seperti aku, dia juga sudah menikah, dengan dua anak. Tapi, jalinan bisnis itu yang membuat kami kembali dekat. Kami bahkan acap pergi bersama, mempresentasikan produk, bahkan kadang berbagi downline. Kerja menjadi mengasikkan bagiku. Dan, jika sudah sampai di rumah, barulah aku merasakan betapa sepinya rumahku. Aneh memang, setelah perjumpaan dengan Agung, baru kusadari betapa aku sangat butuh Aldi. Mungkin lebih tepatnya, kehadiran seorang lelaki, setiap hari.

Meski mantan, kami tak pernah tergoda untuk berbicara masa lalu. Walau, tentu saja, kadang kami tertawa jika ingat rumah makan atau tempat-tempat favorit saat bersama dulu. Tapi, ternyata aku tak sekuat Agung. Jika ia tak menampakkan sikap menggoda, aku sebaliknya, sering merasa kangen dan senang kembali berada di dekatnya, berbincang lama-lama. Yah, ketiadaan Aldy memang membuat aku kadang merasa mendapatkan perhatian dari Agung, semacam pelarianku. Dan ini memang berpengaruh pada Aldi. Dia acap kaget ketika sampai rumah, aku seperti menyeretnya masuk kamar, dan "melahapnya". Aku sendiri tak tahu, mengapa begitu. Setelah selama 4 hari bersama Agung, pasti Jumat atau Sabtu, aku begitu bersemangat bercumbu dengan Aldi, hal yang semula membuat dia bertanya-tanya, meski selebihnya dia menikmati.

Tapi, substitusi kemesraan itu ternyata tak selamanya bisa. Kadang, aku merasa hasratku meledak justru tidak di akhir minggu, melainkan hanya beberapa detik setelah Aldi berangkat. Aku bahkan kadang harus bermasturbasi, hal yang tak pernah kubayangkan dapat aku lakukan.

Dan, seperti magma yang menimbun di perut gunung, suatu hari akan meletus juga. Tak kuingat jelas pada mulanya, juga bagaimana percakapan kami, yang jelas, dengan tertawa-tawa, aku dan Agung masuk kamar hotel. Kami saling bertanya-tanya, apakah sungguh akan melakukan hal itu. Tapi, diam barangkali cara yang paling ampuh untuk membuat keraguan pergi. Dan terjadilah, aku berselingkuh dengan Agung, begitu saja, tanpa proses yang panjang. Ini mungkin seks sebagai selingan. Seks sebagai obat kesepian. Itu saja. Dan karena itulah, aku tidak merasa bersalah pada Aldi, aku tetap melayaninya seperti biasa, yang membuat dia acap ternganga-nganga. Agung hanya pelampiasan saja, seks saja, tanpa cinta.

Tapi, tanpa cinta pun, ternyata aku dapat menikmatinya. Malah dengan keliaran yang lebih. Aku bahkan jadi terbiasa untuk berkata pada Agung, "Nanti ngamar yuk?" tanpa rasa risi. Aneh, aku sendiri sering merasa asing dengan kata itu, tapi selalu aku ucapkan, dan berulang terus. Dan aku nyandu. Memang, agung lebih variatif daripada Aldy. Atau, karena aku bukan istrinya, dia selalu berusaha tampil perkasa. Persetanlah, yang penting aku menikmatinya.

Lalu, semua terjadi. Begitu saja, tiba-tiba, sehabis check-out, Aldy sudah di depan kami. Ya, ia menangkap basah kami. Agung dapat kepalan di kepalanya, aku dapat tamparan, juga caci maki. Selebihnya, setelah puas, Aldy diam. Tak ada kata cerai, tak ada lagi pukulan. Ia hanya diam, diam. Setelah peristiwa itu, ia lebih banyak bermain dengan Sista, tak menghiraukanku. Ia makan, baca koran, tidur, nyaris tanpa berkata-kata. Kami serumah, nyaris tanpa suara. Oh ya, Aldi curiga aku selingkuh karena selalu menemukan tanda parkir di hotel yang lalai aku sembunyikan. Tanda parkir di hotel itulah yang menuntunnya. Aku memang goblok. Aldi jelas pria sabar, tapi ia tidak bodoh.

Aku tentu saja berhenti selingkuh, meski bisnisku tetap jalan. Agung sudah entah di mana, bahkan nomor hp-nya pun sudah berganti setelah kejadian itu. Ia barangkali malu. Dan aku, barangkali tak malu, tapi tersiksa. Ya, tersiksa karena sikap diam Aldi. Ia bahkan mampu berdiam begitu setelah empat bulan kejadian itu. Padahal aku telah meminta maaf, telah berjanji, bersumpah. Tapi ia diam, ia seakan tak pernah menyadari kehadiranku di rumah. Ini hukuman yang lebih kejam dari apa pun. Tak heran jika akhirnya raihan nilai bisnisku turun drastis. Tapi aku tak begitu peduli, aku ingin kembali di percaya Aldi.

Nyaris semua cara telah aku coba. Menggodanya dengan pakaian tipis di kamar, atau berganti busana di depannya. Dia tak membuang muka, diam saja. Semula aku curiga dia "main" perempuan, tapi ternyata tidak. Pengecekanku membuktikan dia masih suami setia. Artinya, selama 6 bulan setelah kejadian itu, dia masih "berpuasa".

Lalu, suatu malam, aku menggodanya. Aku beranikan diri menggerayangi tubuhnya. Ya, napasnya memburu, tapi dia tak bereaksi. Aku tahu dia terangsang, tahu.. dan begitulah, tiba-tiba dia memelukku, menciumku, mencopoti busanaku, dengan sangat kasar. Dan, dan, dengan kasar dia membalikkan badanku, menelungkupkanku di kasur, lalu, lalu... ya Tuhan, dia, dia... menyodomiku! Aku menjerit, bukan karena perih yang kurasakan, tapi hatiku yang serasa ditikam. Aku menangis, dan kian sesenggukan, saat usai, Aldi mengatakan ini di telingaku, "Anusmu masih lebih suci daripada vaginamu!" Oh, Tuhan.., duniaku serasa karam. Aldi, Aldiku yang penyabar itu, ternyata pendendam, dia masih menyalahkanku...

Dan begitulah, jika dulu setiap Jumat atau Sabtu aku menunggu kehadirannya, kini aku justru merasa takut. Karena dipastikan, malamnya, ia pasti akan membalikkan tubuhku, dan menyodomiku, tanpa cumbu. Ia memperlakukanku seperti kuda tunggangan, kasar sekali. Dia juga masih tak menegurku, dan hanya bisa tertawa dengan Sista.

Kini, setahun lebih sudah aku mengalami hal itu. Dan sodomi bukan hal baru lagi. Tubuhku pun sudah menerima hal itu, tanpa rasa sakit lagi. Cuma, hatiku yang masih sakit, bertambah sakit, karena setiap "persetubuhan", ia masih selalu meneriakkan kata-kata itu, "Anusmu masih..." Aldi, tampaknya tak dapat memaafkanku, tak dapat menghilangkan kebenciannya pada perselingkuhanku. Ia begitu mendendam, sampai begitu dalamnya. Dan aku hanya bisa menerima, dengan tangisan, dengan jerit yang selalu gagal aku pekikkan, "Agung, tolonglah aku....

www.balikami.com

Tidak ada komentar: