Jumat, 11 Januari 2008

Dia merampas semua yang kumiliki

Dalam hidupnya, barangkali Mama hanya berbuat satu kesalahan saja. Tapi akibat kesalahannya itu, harus aku yang menanggungkannya seumur hidup. Penderitaan yang tak pernah kubayangkan akan terjadi, bahkan dalam mimpiku yang paling ngeri sekalipun. Aku harus mengalaminya, sendiri. Dan Mama tak pernah tahu, tak mau tahu. Aku pun harus merahasiakannya, demi keselamatan kami. Perahasiaan yang membuat jati diriku tak pernah lagi dapat aku jelaskan.

1983. Aku belum lagi lahir. Dari cerita Mama, saat itu kehidupan ekonomi keluargaku sangat membaik. Mama dan papa cukup bahagia, dengan satu orang anak, Deni. Papa bekerja di Jakarta, di sebuah perusahaan pengembang real estate. Oh ya, keluargaku tinggal di Bogor, dan untuk menambah pendapatan keluarga, Mama membuka warung, dengan 2 pekerja. Lokasi rumah yang berdekatan dengan perkantoran, membuat warung cukup laris, terutama di jam-jam makan siang. Deni saat itu berumur 4 tahun, Papa 29, dan Mama 27.

Cerita Papa, Mama cukup cantik, mungil tapi berisi. Dan itulah yang lebih membuat kenapa warung menjadi ramai. "Tubuh Mamamu yang membuat warungnya ramai, bukan masakannya," begitulah kata Papa, berpuluh tahun kemudian. Waktu itu, Papa memang mulai curiga, Mama ada "main" dengan seseorang. Tapi, ia tak pernah bisa membuktikannya.

1984, aku belum juga lahir. Di awal Januari Mama hamil. Kabar ini begitu menggembirakan. Papa memang telah lama menginginkan Mama hamil lagi, dan berharap dapat anak perempuan. Sedangkan Mama, karena ingin mengurusi warung, ingin kehamilan itu ditunda. Tapi, nasib bicara lain, kehamilan terjadi. Papa bersuka cita, Mama agak murung, awalnya. Tapi, akhirnya Mama juga bahagia. Begitulah cerita Mama.

Maret 1984, aku masih 3 bulan dalam rahim. Kecurigaan Papa terbukti, setidaknya itu versi Papa. Di suatu siang, sekilas Papa melihat Mama di sebuah resto di Jakarta. Papa semula tak percaya. Tapi, akhirnya teryakinkan. Papa lalu mengikuti Mama, dan berakhir di sebuah hotel. Ya, Mama memang tidak sendirian. Dia bersama seorang lelaki, langganan warung, kepala bagian di sebuah instansi pemerintahan di Bogor. Perkelahian terjadi di kamar hotel itu. Mama menangis. Lalu pulang bersama Papa. Setelah itu vonis jatuh, Mama telah berselingkuh.

Versi Mama, lelaki itu relasinya, yang membuat Mama memperoleh harga sembako jauh lebih murah. Lalu Mama bersimpati. Ketika hamil itu, entah kenapa, Mama merasa jatuh cinta. Dan siang itu, setelah "bernegosiasi" dengan hatinya, Mama memang siap berselingkuh. Untuk pertama kali. Tapi Papa terlanjur datang, dan selingkuh pun tak terjadi.

Entah mana versi yang benar, tapi yang jelas, versi Papa lebih kuat. Papa marah, semarah-marahnya. Warung langsung ditutup, para pekerja dipulangkan. Dan Mama menjadi terdakwa, di sidang di depan keluarga. Mama bersumpah, dia belum berselingkuh, hanya akan. Tapi anggota keluarga nyaris tak ada yang percaya. Vonis jatuh, Mama cemar.

Implikasinya menyerang aku, yang masih tiga bulan di kandungan saat itu. Papa meragukan kalau aku anaknya. Bahkan, ketika Mama bersumpah di depan al-Quran pun, Papa tak percaya. Keluarga akhirnya berantakan. Tapi ucapan cerai tak pernah keluar dari mulut Papa. Ia mungkin masih mencintai Mama, tapi amarah dan cemburu telah membutakannya. Setelah kejadian itu, Mama tak pernah "disentuh" oleh Papa.

September 1984, aku lahir. Tak ada suka cita lagi. Hanya Mama yang bahagia, merasa punya teman, setelah semua menyalahkannya. Mama pun menumpahkan semua sayang padaku, setelah Bang Deni memperoleh perhatian berlebihan dari Papa. Papa bahkan tak menunggui persalinanku, hanya kakek dari Mama yang menunggu, dan mengazani aku. Karena, hanya Kakek juga yang percaya, anaknya belum berzinah.

Dan, penderitaan aku pun dimulai. Empat tahun setelah aku lahir, kakek berpulang. Praktis, Mama tak punya lagi pembela. Di rumah, Mama nyaris hanya jadi bahan cemoohan, dan babu yang tak bergaji. Uang belanja pun diserahkan Papa pada pembantu. Niat Mama untuk membuka warung pun tak lagi pernah disetujui. "Aku bakar rumah ini kalau kau membuka warung lagi!" Begitu ancam Papa, seperti diceritakan Mama.

Dalam kondisi itulah aku dibesarkan, nyaris tanpa sentuhan tangan Papa. Bahkan, sejak aku bisa bicara, Papa telah memanggilku "Njing". Mama bilang itu panggilan sayang, karena aku kecil, seperti bajing (tupai -red). Tapi, setelah SMP aku tahu, aku dipanggil Anjing. Dan karena Anjing, aku najis, tampar dan tendang jadi hal yang manis.

Saat aku masuk SD, Bang Deni masuk SMP. Kami nyaris berbeda 7 tahun. Tapi, dalam hal marah, dia tak berbeda dari Papa. Sejak SMP pula, Papa telah bercerita pada Bang Deni, kalau kami tak bersaudara, tak sedarah. Dan Bang Deni percaya, ia pun menjadi wakil Papa, jika papa bekerja. Aku kecil, dia besar. Sumpah-serapah, marah dan ludah, hal yang biasa aku tadah. Mama pun tak bisa membela, karena lidah Bang deni terlalu tajam menistanya. Oh ya, sejak aku masuk SD, pembantu sudah tak ada lagi di rumah. Papa dan Abang pun bebas melampiaskan dendam, justru hanya padaku.

Saat aku SMP, Mama baru bercerita, semuanya. Semalaman Mama menangis, merasa bersalah padaku. "Kalau tahu begini Nak, sudah sejak kecil kamu Mama buang, biar mereka tak bisa menyiksamu. Ini salah Mama." Aku tak bisa bilang apa-apa. Aku kemudian merasa demikian hina, kecil, dan tak berharga. Jika sebelumnya aku hanya tahu bahwa aku dibenci, kini aku tahu kenapa aku dibenci, kenapa mereka demikian kejam pada Mama. Di rumah, aku adalah jongos, mencuci mobil, membersihkan rumah, semua, juga WC dan kamar mandi, hal rutin yang aku lakukan sejak kelas 3 SD. Mama sendiri, aku nyaris tak pernah tahu apa yang dia rasakan. Dia jarang menangis, seingatku, hanya saat bercerita ketika aku SMP itulah dia menangis, untuk yang terakhir kali. Selebihnya, Mama bukan hanya bisu, juga tuli. Aku juga tak peduli. Aku tak peduli pada Mamaku yang hanya diam melihat aku dihajar, melihat ludah dan sumpah memenuhi mukaku. Aku tak peduli pada Mama yang hanya diam melihat aku digampar di depannya. Aku hanya tahu, aku bangsat di rumah ini.

Ajaibnya, situasi ini nyaris tak tercium oleh tetangga. Papa terlalu pandai bersandiwara, Bang Deni apalagi. Di lingkungan warga, Papa bhkan cukup terpandang, karena rajin menyumbang untuk masjid dan kepentingan sosial. Keluarga kami sangat mapan, dengan mobil 3. Papa pun sudah punya posisi sangat penting di perusahaannya. Adapun Mama, satu yang aku herankan, kenapa tubuhnya tak juga kurus oleh penderitaanku. Mama tetap saja segar. Meski aku tahu, sejak aku lahir, Mama dan Papa tak pernah lagi tidur bersama.

Tahun 1999, saat aku kelas 3 SMP, terjadi peristiwa besar. Tidak tahan ditendang oleh Bang deni, aku melawan. Aku tusuk dia dengan pisau dapur. Perutnya robek. Warga gempar. Tapi Papa cepat menetralisir, dan mengatakan kami bercanda yang kelewatan. Dia mendapat 8 jahitan. Tapi aku, hanya Tuhan yang tahu balasan yang aku terima. Papa meludah, menendang, memukul, menjambak, semuanya. Terakhir, dia kurung aku di kamar mandi, telanjang, sehari semalam, tanpa makan. Tubuhku yang kecil memang tak mungkin untuk melawan Papa. Sementara Mama, justru pergi ketika aku disiksa. Hanya Tuhan yang jadi penyaksiku, sayang,aku tak juga diberi kematian.

Seminggu di rumah sakit, Bang Deni pulang. penderitaanku kembali tak terbayangkan. Aku dia gunduli, dan punggungku penuh memar. Ya, mereka memang tak pernah berani memukulku di bagian wajah atau tangan, pokoknya yang kelihatan. Tapi punggung, paha dan pantatku, penuh dengan bekas siksaan mereka. Tapi aku sudah tak pernah menangis. Aku memang berteriak, tapi tidak menangis, tak pernah lagi menangis.

Tapi, malam setelah Bang Deni pulang, aku kembali menangis. Tengah malam, setelah seharian disiksa, aku tertidur pulas. Aku terbangun, saat kurasakan seseorang menindihku. Tapi kemudian mulutku dibengkap, dan aku hanya menangis dan meronta saat bajingan itu memperkosaku. Ya, Papa malam itu memperkosaku, dia menyodomi aku. Aku menangis, hanya menangis, juga saat dia mengancamku sambil meludahi mukaku, dan melemparkan sarung agar aku membersihkan sisa perkosaannya. Aku habis. Aku tak punya apa-apa lagi. Diriku pun telah dia miliki.

Sejak malam itu, aku berhenti salat. Kukira Tuhan telah terlalu tak adil padaku. Percuma aku meminta tolong padanya, Dia tak pernah mau menjawab permintaanku, bahkan menambah terus penderitaanku. Percuma aku percaya padanya. Tiidak, Tuhan tak bisa menolongku. Aku yang harus menolong diriku sendiri.

Sejak malam itu juga, setiap Minggu nyaris 2 kali bajingan itu akan memperkosaku. Dan setelah selesai, ia pasti akan meludahi mukaku. Aku telah tak takut lagi pada apa pun, juga ancamannya. Aku hanya sedang menyiapkan sebuah rencana, untuk membantai bajingan itu di kamarku.

2001, Terungkap, kalau selama ini Mama punya "kekasih" di luar. Hubungan mereka bahkan telah terjalin lama. Sebenarnya aku telah lama tahu, tapi mendiamkan saja. Papa, ya bajingan itu, baru tahu setelah Bang Deni memergoki Mama. Ia, mamaku tak berkelit, dan Papa hanya tertawa, saat tahu, lelaki itu adalah selingkuhan Mama 20 tahun yang lalu. Tak ada kemarahan apa pun dari Papa terhadap Mama. Mereka memang telah tak bertegur sapa. Tapi, Mama tidak tahu, setelah itu, setiap malam aku harus menjadi "sasaran" kemaran Papa. Ia seperti histeris saat menggarap aku, mulutnya menyumpah-nyumpah, memaki-maki Mama. Dan setelahnya, ia akan menghadiahi lagi ludah ke mukaku.

Saat mulai masuk kelas 3 SMA, kurasakan hal yang aneh dalam diriku. Aku merasa gampang tertarik pada lelaki. Aku menyukai guru olahragaku. Sayang, dia tampaknya tahu, dan mengancamku. Perubahan ini memang telah kurasakan sejak mulai SMA, di mana aku begitu terangsang pada film porno, justru saat melihat si lelaki, bukan perempuannya. Ya, kusadari kini, aku telah menjadi homoseks, penyuka sejenis. Ini semua gara-gara bajingan itu, orang yang oleh Mama selalu dia yakinkan sebagai ayahku. Kondisiku ini membuat aku limbung. Telah dua kali aku mengirim surat konsultasi ke media, tapi tak ada satu pun yang berbalas. Aku bingung.

Bajingan itu sendiri, telah setahun lebih tak pernah lagi berani menyentuhku. Ia takut setelah aku berani melawan, dan menghajarnya dengan berpuluh pukulan, sampai mata dan giginya patah. Ia tak berani lagi, bahkan dia diam, saat aku yang kini meludahi mukanya. Ia tak berani, saat Bang deni, yang telah tamat dan bekerja, tinggal di Jakarta. Ia tak berani, karena tak punya pembela, bajingan yang sama. Ia bahkan lebih sering tinggal di Jakarta, di rumah Deni yang dia belikan.

Tapi, perlawananku tampaknya sia-sia. Kehidupanku telah terlalu jauh berubah. Kini aku terlalu gampang terangsang pada kaum sejenisku. Aku sudah mencoba melawan keinginan itu, tak pernah berhasil. Seperti aku yang tak pernah berhasil mengukuhkan niat untuk membunuh Papaku. Aku terlalu takut, aku terlalu takut... Ahh, entah apa yang kini dapat aku lakukan.

www.balikami.com

Dia menghinaku setiap malam

Semula, kehidupan rumah tanggaku berjalan normal. Kesibukan nyaris membuat pertengkaran tak hadir di rumah. Apalagi, kelucuan anak kami yang baru berumur 2,5 tahun, Sista, membuat rumah selalu penuh tawa. Karena itu, aku acap merasa memiliki keluarga yang sempurna. Sebagai istri, aku punya suami yang sayang, sebagai ibu, aku punya anak yang manis, sebagai wanita, aku pun berkarier, punya penghasilan sendiri, yang membuatku punya nilai lebih daripada wanita atau istri yang lain. Sungguh, puji Tuhan atas karunia itu.

Oh ya, suamiku, Rinaldi termasuk lelaki penyabar. Mungkin karena itulah, kariernya di kantor juga sabar sekali naik. Kadang aku berpikir, Aldi --itu panggilannya-- seorang pria yang gampang merasa bahagia. Ia enteng saja menjalani hidup. Pagi ke kantor, sore di rumah, bermain dengan Sista. Berbeda dari aku yang cukup sibuk, pagi ke kantor, sore aku masih pergi kerja lagi, bisnis MLM. Dan hasilnya, secara finansial aku mandiri. Penghasilanku lebih banyak dari Aldi. Dan hal itu tak membuat keretakan apa pun. Aldi tak menjadi kecil hati, aku tak berbangga diri. Semua itu rezeki keluarga kami, terutama Sista.

Dua bulan setelah Sista ulang tahun ke-3, Aldi ditugaskan ke Cilacap. dan seperti biasa, ia menerima. Alasannya, sebagai PNS dia tak punya posisi tawar. Dalih yang dicari-cari, padahal aku yakin, dengan "pelicin" sedikit, Aldi akan tetap dapat bertugas di Semarang. Ya begitulah, Senin-Jumat ia di Cilacap, Sabtu pagi, kadang Jumat malam, ia telah kembali ke Semarang. Praktis, kami hanya bertemu dua hari dalam seminggu. Dan Aldi tampaknya lebih banyak kangen ke Sista daripada aku. Aku maklum, dan tak cemburu.

Kejarangan bertemu ini tak membuat masalah pada kami berdua, pada awalnya. Aku kian disibukkan dengan bisnis MLM-ku yang memang sangat menjanjikan, meski kadang harus membawa Sista, jika dia rewel. Kesibukan ini juga yang membuat aku dapat melupakan saat-saat ketiadaan Aldi, sampai...

Suatu hari, aku bertemu dengan Agung, dalam sebuah pertemuan bisnisku. Agung ini mantan pacarku. Kami berpisah karena perbedaan keyakinan dan ketaksetujuan orang tua karena perbedaan itu. Perjumpaan ini membuat semua kenanganku bersamanya kembali lagi. Seperti aku, dia juga sudah menikah, dengan dua anak. Tapi, jalinan bisnis itu yang membuat kami kembali dekat. Kami bahkan acap pergi bersama, mempresentasikan produk, bahkan kadang berbagi downline. Kerja menjadi mengasikkan bagiku. Dan, jika sudah sampai di rumah, barulah aku merasakan betapa sepinya rumahku. Aneh memang, setelah perjumpaan dengan Agung, baru kusadari betapa aku sangat butuh Aldi. Mungkin lebih tepatnya, kehadiran seorang lelaki, setiap hari.

Meski mantan, kami tak pernah tergoda untuk berbicara masa lalu. Walau, tentu saja, kadang kami tertawa jika ingat rumah makan atau tempat-tempat favorit saat bersama dulu. Tapi, ternyata aku tak sekuat Agung. Jika ia tak menampakkan sikap menggoda, aku sebaliknya, sering merasa kangen dan senang kembali berada di dekatnya, berbincang lama-lama. Yah, ketiadaan Aldy memang membuat aku kadang merasa mendapatkan perhatian dari Agung, semacam pelarianku. Dan ini memang berpengaruh pada Aldi. Dia acap kaget ketika sampai rumah, aku seperti menyeretnya masuk kamar, dan "melahapnya". Aku sendiri tak tahu, mengapa begitu. Setelah selama 4 hari bersama Agung, pasti Jumat atau Sabtu, aku begitu bersemangat bercumbu dengan Aldi, hal yang semula membuat dia bertanya-tanya, meski selebihnya dia menikmati.

Tapi, substitusi kemesraan itu ternyata tak selamanya bisa. Kadang, aku merasa hasratku meledak justru tidak di akhir minggu, melainkan hanya beberapa detik setelah Aldi berangkat. Aku bahkan kadang harus bermasturbasi, hal yang tak pernah kubayangkan dapat aku lakukan.

Dan, seperti magma yang menimbun di perut gunung, suatu hari akan meletus juga. Tak kuingat jelas pada mulanya, juga bagaimana percakapan kami, yang jelas, dengan tertawa-tawa, aku dan Agung masuk kamar hotel. Kami saling bertanya-tanya, apakah sungguh akan melakukan hal itu. Tapi, diam barangkali cara yang paling ampuh untuk membuat keraguan pergi. Dan terjadilah, aku berselingkuh dengan Agung, begitu saja, tanpa proses yang panjang. Ini mungkin seks sebagai selingan. Seks sebagai obat kesepian. Itu saja. Dan karena itulah, aku tidak merasa bersalah pada Aldi, aku tetap melayaninya seperti biasa, yang membuat dia acap ternganga-nganga. Agung hanya pelampiasan saja, seks saja, tanpa cinta.

Tapi, tanpa cinta pun, ternyata aku dapat menikmatinya. Malah dengan keliaran yang lebih. Aku bahkan jadi terbiasa untuk berkata pada Agung, "Nanti ngamar yuk?" tanpa rasa risi. Aneh, aku sendiri sering merasa asing dengan kata itu, tapi selalu aku ucapkan, dan berulang terus. Dan aku nyandu. Memang, agung lebih variatif daripada Aldy. Atau, karena aku bukan istrinya, dia selalu berusaha tampil perkasa. Persetanlah, yang penting aku menikmatinya.

Lalu, semua terjadi. Begitu saja, tiba-tiba, sehabis check-out, Aldy sudah di depan kami. Ya, ia menangkap basah kami. Agung dapat kepalan di kepalanya, aku dapat tamparan, juga caci maki. Selebihnya, setelah puas, Aldy diam. Tak ada kata cerai, tak ada lagi pukulan. Ia hanya diam, diam. Setelah peristiwa itu, ia lebih banyak bermain dengan Sista, tak menghiraukanku. Ia makan, baca koran, tidur, nyaris tanpa berkata-kata. Kami serumah, nyaris tanpa suara. Oh ya, Aldi curiga aku selingkuh karena selalu menemukan tanda parkir di hotel yang lalai aku sembunyikan. Tanda parkir di hotel itulah yang menuntunnya. Aku memang goblok. Aldi jelas pria sabar, tapi ia tidak bodoh.

Aku tentu saja berhenti selingkuh, meski bisnisku tetap jalan. Agung sudah entah di mana, bahkan nomor hp-nya pun sudah berganti setelah kejadian itu. Ia barangkali malu. Dan aku, barangkali tak malu, tapi tersiksa. Ya, tersiksa karena sikap diam Aldi. Ia bahkan mampu berdiam begitu setelah empat bulan kejadian itu. Padahal aku telah meminta maaf, telah berjanji, bersumpah. Tapi ia diam, ia seakan tak pernah menyadari kehadiranku di rumah. Ini hukuman yang lebih kejam dari apa pun. Tak heran jika akhirnya raihan nilai bisnisku turun drastis. Tapi aku tak begitu peduli, aku ingin kembali di percaya Aldi.

Nyaris semua cara telah aku coba. Menggodanya dengan pakaian tipis di kamar, atau berganti busana di depannya. Dia tak membuang muka, diam saja. Semula aku curiga dia "main" perempuan, tapi ternyata tidak. Pengecekanku membuktikan dia masih suami setia. Artinya, selama 6 bulan setelah kejadian itu, dia masih "berpuasa".

Lalu, suatu malam, aku menggodanya. Aku beranikan diri menggerayangi tubuhnya. Ya, napasnya memburu, tapi dia tak bereaksi. Aku tahu dia terangsang, tahu.. dan begitulah, tiba-tiba dia memelukku, menciumku, mencopoti busanaku, dengan sangat kasar. Dan, dan, dengan kasar dia membalikkan badanku, menelungkupkanku di kasur, lalu, lalu... ya Tuhan, dia, dia... menyodomiku! Aku menjerit, bukan karena perih yang kurasakan, tapi hatiku yang serasa ditikam. Aku menangis, dan kian sesenggukan, saat usai, Aldi mengatakan ini di telingaku, "Anusmu masih lebih suci daripada vaginamu!" Oh, Tuhan.., duniaku serasa karam. Aldi, Aldiku yang penyabar itu, ternyata pendendam, dia masih menyalahkanku...

Dan begitulah, jika dulu setiap Jumat atau Sabtu aku menunggu kehadirannya, kini aku justru merasa takut. Karena dipastikan, malamnya, ia pasti akan membalikkan tubuhku, dan menyodomiku, tanpa cumbu. Ia memperlakukanku seperti kuda tunggangan, kasar sekali. Dia juga masih tak menegurku, dan hanya bisa tertawa dengan Sista.

Kini, setahun lebih sudah aku mengalami hal itu. Dan sodomi bukan hal baru lagi. Tubuhku pun sudah menerima hal itu, tanpa rasa sakit lagi. Cuma, hatiku yang masih sakit, bertambah sakit, karena setiap "persetubuhan", ia masih selalu meneriakkan kata-kata itu, "Anusmu masih..." Aldi, tampaknya tak dapat memaafkanku, tak dapat menghilangkan kebenciannya pada perselingkuhanku. Ia begitu mendendam, sampai begitu dalamnya. Dan aku hanya bisa menerima, dengan tangisan, dengan jerit yang selalu gagal aku pekikkan, "Agung, tolonglah aku....

www.balikami.com

"SUAMIKU MENULARI AKU AIDS"

Dulu sebelum dokter menyatakan aku terkena HIV, aku adalah seorang yang pemalu dan pendiam. Kalau sekarang aku bisa bicara lantang bahkan kerap memberi kesaksian dalam berbagai seminar AIDS, itu bukan berarti aku lantas bersyukur karena terkena HIV. Tidak seorang pun siap menerima kenyataan bahwa suatu ketika dirinya dinyatakan positif mengidap penyakit yang mematikan itu. Lebih-lebih lagi penyakit ini masih dipandang miring oleh masyarakat luas. Stigma mereka kepada orang-orang seperti aku adalah bahwa orang baik-baik tidak mungkin terkena HIV, bahwa hanya orang-orang dari dunia luar yang menyimpanglah yang menderita penyakit yang dianggap kutukan Tuhan ini. Jadi terkena HIV/AIDS adalah orang-orang yang tidak bermoral baik, duh, pedih hatiku menerima kenyataan ini, apakah aku buka orang baik-baik ? Apakah aku orang yang memang pantas mengalami positif HIV, yang mungkin 5 atau 10 tahun lagi menjadi penderita AIDS dan kemudian menemui ajal ?

Aku bukan berasal dari dunia menyimpang yang sering disumpah serapah orang itu, sebut saja dunia pelacuran, seks bebas, narkoba, gay atau lesbian. Aku tidak pernah bergonta-ganti pasangan, aku tidak pernah memakai jarum suntik bergiliran yang tidak disterilkan, aku bukan pecandu narkoba, juga belum pernah transfusi darah. Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang juga seorang karyawati biasa. Tetapi mengapa Tuhan menunjuk aku sebagai ODHA - orang dengan HIV/AIDS ? apakah ini kutukan atau hukuman buat aku ? kalau bukan, lantas apa ?

Aku lahir pada tahun 1974 di pulau Dewata sebagai anak tunggal yang sebut saja bernama dewi. Bukannya aku bernyali kecil bila tidak menyebutkan namaku yang sebenarnya, semata-semata hanya karena pertimbangan keamanan yang privasi keluargaku. Seperti yang aku kemukakan di muka, masyarakat kita masih memberi stigma kepada ODHA. Coba Anda bayangkan bila nama asliku ditulis, wajahku terpampang jelas cepat atau lambat orang akan tahu bahwa akau adalah anak, ibu, menantu, teman atau kerabat si anu. Bila sudah begitu bagaimana dengan perkembangan anak semata wayangku ? bagaimana perasaan ibu kandung dan mertuaku, apakah aku bias hidup tenag bila bila orang-orang yang aku cintai dihujat atau dikasihi ? mereka dan aku ingin tahu aku seorang ODHA ? oleh karena itu untuk sementara waktu biarlah aku menggunakan nama samaran, kelas bila masyarakat Indonesia sudah menyikapi penderita HIV/AIDS sebagaimana penderita penyakit jantung, TBC, Kanker, hepatitis atau yang lainnya, barulah aku menggunakan nama asliku dan menampakkan wajah asliku.

Atas desakan ibu kandungku dan calon mertuaku waktu itu aku dijodohkan dengan mendiang suamiku. Kala itu aku berusia 21 tahun dan ia berusia 30 tahun. Mengapa ibu mendesak ? karena dilihatnya aku sering bergaul dengan teman-teman yang berasal dari pulau Jawa. Yang tidak seiman dengan keluarga kami, beliau khawatir bila aku kawin dengan salah satu dari mereka. Lebih-lebih ibu seorang guru BP (bimbingan dan penyuluhan ) di satu SLTP itu adalah orang tua tunggal, jadi hanya sendirian melindungiku. Sementara desakan dari calon ibu mertuaku waktu itu mungkin karena anak laki-lakinya itu sudah kelewat umur untuk berumah tangga alias perjaka tua.

Ada yang tidak wajar.

Walaupun aku dijodohkan , tidak berarti aku tertekan atau menderita aku berkenalan secara wajar denganya dan berusaha membangun hubungan selayaknya orang yang berpacaran, namun aku merasakan sesuatu yang tidak wajar dengan hubungan kami. Au sendiri tidak tahu itu apa, kadang aku berpikir ketidakberesan itu sebenarnya ada di aku atau ada di dia ? selama tiga bulan berpacaran aku merasa dia sedikit aneh. Tidak sebagaimana pacar-pacar yang sering dicelotehkan teman-teman kantor atau kampusku. Dari cerita mereka sepertinya masa penyesuaian selama berpacaran itu berjalan cepat sedangkan aku merasa masa penyesuaian kami berlangsung lama. Kalau alasannya waktu yang kurang, toh setiap Sabtu atau minggu kami bisa melewatkan waktu.

Bahwa ia sama sekali tidak romantis, itu aku bisa terima, kan memang tidak semua laki-laki bisa bersikap romantis. Tetapi diamnya itu yang suka bikin aku penasaran. Mengapa dia lebih suka diam ? apakah dia tidak menyukai aku, apakah ada orang ketiga di antara kami ? pertanyaan pertanyaan itu tak pernah terjawab, sebab dia lebih suka menghindari dari aku, bahkan ketika nonton di bioskop pun dia duduk berjauhan dariku. Namun begitu, ia tetap setia menjemputku dari kantor. Aku bekerja di satu travel agent bagian reservation. Selain itu aku juga kuliah di dua tempat, satu sekolah sekretaris dan satunya lagi kepariwisataan yang mengandalkan Bahasa Inggris. Dari segi penampilan, aku menilai tidak ada yang salah dari dirinya. Sikapnya kepada ku pun baik-baik saja. Aku menepis perasaan tidak enakku dengan meyakinkan diri mungkin itu hanya perasaanku saja dan barang kali saja aku masih perlu waktu lebih lama untuk menyesuaikannya denganku. Dari keyakinanku seperti itu aku naik ke pelaminan. Dengannya pada tahun 1995 setelah tiga bulan berpacaran.

Secara umum perkawinan kami bisa di bilang baik-baik saja. Hanya dari detik-detik di mana aku merasakan sesuatu yang salah dengan hubungan kami. Bila berhubungan intim, tidak ada komunikasi darinya setelahnya pun tak ada omongan apa-apa dari dia. Sudah ya sudah, betapa aku merasa menjadi seonggok daging yang tidak ada harganya. Sering kali setiap selesai berhubungan intim aku menangis, mengapa tidak ada romantisnya-romantisnya? bila aku berkata, rasanya ada yang salah dengan hubungan kita, maka respon darinya adalah diam seribu kata. Aku mengira setelah perkawinan, bakal ada perbaikan hubungan kami, nyatanya tidak, dia sama seperti saat berpacaran dulu, lebih banyak dia dan menghindar dariku. Tambahan pula ia sering sakit walau sebelum pernikahan pun ia sudah kerap demam. Kondisi seperti ini membuat benteng yang dibuat suamiku semakin kukuh aku suluh menembus ke dalam darinya demi memperbaiki hubungan dengan suamiku, aku sempat berpikir untuk berhenti bekerja saja, namun lalu terpikir bahwa mencari kerja itu tidak mudah. Akhirnya aku punyai ide untuk cuti saja selama satu minggu. Selama cuti aku akan benar-benar mengurus dan merawatnya. Mudah-mudahan upayaku ini bisa mencairkan kelakuan dirinya.

Akan tetap niat baikku ini justru lebih tidak disukainya, ia tidak suka bila aku terlalu banyak memberi perhatian untuk dirinya, aku lalu jadi bingung, apa mau suamiku sebenarnya? karena dilanda kekesalan yang sangat terlontar kalimat-kalimat profesiku kepadanya, kamu mau menikah dengan saya hanya karena dijodohkan kan? kamu mau menikah dengan saya hanya karena dijodohkan kami? kamu hanya ingin menutupi status lajang kamu! mendengar tuduhanku yang penuh emosional ini, ia balik marah, diam kamu. Tidak usahlah beraguman yang macam-macam! begitu bentakannya waktu itu, aku sungguh-sungguh menjadi orang yang tidak ada apa-apanya buat dia, sudahlah aku tinggal bersama mertua, yang secara adat memang sudah membatasinya, di tambah ini sikapnya sebagai istrinya, tugas-tugas keistrian selain tentunya hubungan intim ia serahkan ke ibunya, aku merasa hanya diangap anak kecil yang tidak tahu apa-apa, karena tidak tahu lagi apa-apa yang mesti kuperbuat maka aku cuekin saja dia, sampai suatu saat aku hamil.

Setelah aku hamil ada sedikit perubahan pada dirinya ia mau dekat-dekat padaku dan wajahnya nampak senang. Ia elus-elus perutku dan kebahagiaanya tidak bisa disembunyikan. Walau demikian kekakuan dirinya padaku tetap berlangsung. Ia seakan punya ketakutan yang berlebihan bila ketemu muka denganku. Sampai-sampai ia pernah pura-pura tidur pulas di atas perutku demi menghindari curahan hatiku. Pernah suatu kali saat di rawat di tempat pengobatan alternatif yang kebetulan pengobatan adalah kakekku menjenguknya, eh, dia malah pulang sendirian. Katanya sih ada entah barang apa yang ketinggalan. Pokoknya aku merasa dia selalu berusaha menghindari dari aku waktu itu emosiku yang bermain, mengapa tak ada penghargaannya sama sekali buatku? Aku bahwa baju baru yang baru saja aku beli dengan uang gajiku khusus untuk menyenangkan hatinya, kok dia malah menjauh dariku? Air mataku pun tak terbendung lagi. Deras mengalir di pipi seperti tanggul yang baru dibobol orang.

Dibedakan

Suatu ketika petaka itu tidak bisa disembunyikan. Setelah terbaring beberapa hari di rumah sakit, ia dinyatakan positif mengindap HIV dan menunjukkan gejala Aids. Saat itu barulah terkuak latar belakang perilaku anehnya selama ini. Mungkin dari dulu pun ia sudah merasa sebagai Odha karena tahu ia orang yang beresiko untuk itu. Dari semua pertanyaan selama ini. Namun pertanyaan lain menggangguku. Dari mana ia mendapat HIV? Bagaimana ia bisa sampai terinfeksi? Aku ingin menggangguku. Dari mana ia mendapat HIV? Bagaimana ia bisa sampai terinfeksi? aku ingin menanyakan hal ini langsung kepada suamiku, tapi aku tidak diizinkan menjenguknya di rumah sakit oleh mertuaku dengan alasan aku harus menjaga kandungannya.

Bukan hanya positif HIV, suamiku juga menunjukkan gejala-gejala sebagai penderita ADIS, oleh sebab itu, dokter ahli yang menangani suamiku ingin berbicara langsung denganku untuk konseling sebelum tes HIV dilakukan terhadap diriku. Pemberitahuan tentang hasil tes membuatku bagai peskitan di kursi terdakwa. Aku dinyatakan positif HIV. Aku shock berat, jelas ini tidak adil, dokter harus memberikan konseling kepadaku, bahwa aku tertular bukan karena perilaku atau moralku buruk, tetapi aku tertular dari suamiku. Mengapa mesti aku yang terkena HIV? mengapa bukan orang lain? Hariku terus protes sampai-sampai aku menyalahkan ibu ketika itu, ibu sih yang menjodohkan aku dengan dia, coba kalau tidak, ibu hanya menerima semua protesku dengan kesedihan yang dalam.

Untuk melindungi bayi dalam kandungan, dokter memberikan obat yang kuminum tanpa banyak tanya. Sekarang aku tahu obat yang diberikan oleh dokter itu adalah antiretroviral. Aku patuhi saja apa yang diminta dokter, toh itu semua demi keselamatan bayiku. Biarlah Tuhan menetapkan aku positif HIV, tetapi jangan pula ini terjadi pada buah hatiku. Bayi laki-laki lahir dari rahimku pada tahun 1996 dengan cara normal (tak operasi). Hasil tes HIV-Nya positif, tapi dokter mengatakan agar aku jangan kecil hari dulu sebab tes akan diulang enam bulan lagi, sesampai kami di rumah pasca melahirkan, aku menjumpai suamiku yang sudah pulang lebih dulu setelah opname di rumah sakit, hatiku amat terenyuh melihat keadaaannya yang semakin memprihatinkan.

Sementara itu, Koran-koran pun ramai memberitakan tentang kami, headline-nya seperti : wanita positif melahirkan bayi yang juga positif, tidak semua wartawan menulis sesuai dengan kode etik. Kebanyakan dari tulisan mereka hanya menonjokan kami, ini menyempurnakan kemalangan kami, betapa tidak? jangankan nama atau alamat kami, bahkan tanggal dan jam kelahiran anakku pun mereka tulis, apa maksud mereka? menulis berita sensasional agar korannya laku? lantas bagaimana dengan kami? yang sudah divonis hidup tak akan lama lagi masih ditambah dengan siksaan batin? bagaimana dengan kelangsungan hidup bayiku? apakah ia bisa bertumbuh dan berkembang dengan normal " akan terancamkah ia dengan stigma masyarakat ?

Aku jadi mengurung diri. Tidak berani ke kantor atau ke kampus lagi, ibuku mengatakan aku harus tabah menerima semua ini dan mendukungku untuk mengalami aktifitas seperti sebelum aku dinyatakan positif HIV, aku merasa tidak sanggup, tanggal lahir anakku pun mereka tahu, jadi apa yang mereka tak ketahui tentang aku? Mau ditaruh di mana kalau mereka memandangku dengan perasaan penuh kasihan atau malah jijik. Sementara itu keadaan suamiku bertambah parah, keluarga yang menjenguk hanya berani melihat dari jendela, tidak berani bersalaman, tidak berani berbicara. Ia ditempatkan di tempat khusus dan tidak seorang pun berani mendekat.

Hanya Menangis

Pertanyaan dari mana dia bisa kena HIV yang membuatku panasaran selama di opname ingin kutanyakan kepadanya, melihat tubuhnya yang kini hanya tulang berbalut dan kesulitannya untuk berbicara karena mulutnya dipenuhi candida (jamur) membuat hatiku tak tega untuk bertanya. Waktu aku masih di rumah sakit ibu mertuaku bercerita bahwa suamiku bersikeras mencuci dan menanam ari-ari bayinya yang baru saja lahir sekalipun ia harus mengandalkan kursi rod. Ketika dilarang ia mengatakan bahwa dia merasa hari-hari terakhirnya lalu tak berani merawatnya lagi, takut tertular, pakainnya pun tidak ada yang berani mencucinya, jadi hanya ditumpuk-tumpuk begitu saja, ah sudahlah aku merasa tidak kuasa menceritakan bagian ini.

Walau tidak ketara betul, akupun merasakan perlakuan lain dari mereka. Aku dipindahkan ke ruangan yang ada kamar mandi dan dapur sendiri. Peralatan makan pun mereka pisahkan. Di lingkungan sosial pun kami dibedakan. Para tetangga yang memang masih terhitung semuanya para kerabat, sehingga tidak memperlakukan aku dengan 'kejam' Namun perlakukan yang menyinggung tetap ada. Misalnya dulu aku sering disuruh buat minum-minuman untuk acara kumpul-kumpul, tetapi sekarang mereka melarang. Minumpun mereka tidak menyodorkan gelas untukku dan mereka takut dekat-dekat denganku. Kemudian aku minta dokterku diberikan konseling di banjar ku (Banjar=semacam RT). Perlakuan mereka kepaku normal kembali setelah mereka diberi konseling.

Pada saat santai, sambil menoton TV bersama aku memberanikan diri untuk menanyakan dari mana sebenarnya dia mendapat HIV, pertanyaan dijawabnya dengan linangan air mata. Aku merasa tidak sanggup memaksanya, melihatnya seperti itu dari mana datang HIV di tubuhnya sudah tidak penting lagi bagiku, yang penting bagiku dia bisa terus hidup, bagaimanapun aku mencintainya. Aku ingin setidaknya dia bisa bertahan satu tahun lagi untuk melihat anaknya. Dia memang menanyakan kepada dokter bagaimana nasib anaknya. Sinar kedua matanya seakan merasa terbebani dengan kedua masalah, rupanya rasa bersalahnya yang besar kepadaku membuatnya selama ini membatasi komunikasi dan menjauhi aku, aku ingin kamu bisa hidup lebih lama, paling tidak sampai anak kita berumur 4 tahun atau satu tahun, kataku waktu itu. Ia hanya menanggapinya hanya dengan menangis sampai akhirnya ia meninggal dunia.

Jenasah suamiku tidak diperlakuan secara normal, pengabenannya dilakukan pada malam hari. Perlakuan tidak normal ini membuatku kecil hati, kelak bila aku meninggal, aku pun akan diperlakukan sama seperti itu. Pikiran ini membuatkku putus asa dan berpikir tak ada gunanya lagi aku hidup di sini. Aku merasa harus pergi jauh keluar dari darahku. Apalagi pemberiataan-pemberitaan di Koran yang sangat sensasional sangat memojokkan kami, aku jadi merasa di buru oleh wartawan wartawan yang mengatakan dirinya berperikemanusiaan itu, tetapi kenyataannya menghancurkan hidup orang-orang seperti aku.

Pernah suatu kali aku sangat marah ketika seorang teman lama semasa di SMA mengunjungiku dan mulai bertanya ini itu sial kehidupan pribadiku, mulanya ia hanya menanyakan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan penyakitku dan suamiku. Gimana sih lu, kok kawin nggak bilang-bilang! katanya waktu itu. Setelah beberapa lama mengobrol dia mulai bertanya, " suamimu meninggal karena apa?

Tifus, jawabku. Lalu dia melanjutkan obrolan kami, karena dia kebetulan juga seorang relawan dari Citra Husadam ia bicara soal pekerjaannya, soal HIV/AIDS, soal kehidupan seorang gay, sampai akhirnya dia berujar, eh, kamu tahu nggak suamimu itu seorang gay? serasa darahku naik ke kepala, kalau boleh saja main ke sini, tapi kalau maksud kamu untuk mengorek-ngorek kehidupan pribadi saya, untuk mengusik-ngusi suamiku yang telah meninggal lebih baik kamu tidak usah ke sini aja! dia terkejut menerima responku yang seperti itu, oh maaf. Maaf, …. Bukan maksud saya begitu, ia pun meminta-minta maaf dariku.

Tidak mungkin suamiku seorang gay, wong kalau berhubungan intim dia biasa saja kok, normal-normal saja. Walau aku akui ada saat-saat tertentu di mana aku merasa tidak puas dalam berhubungan intim tapi kupikir itu hal yang normal saja. Pasangan lain tentu juga pernah merasakan ketidakpuasan dalam berhubunagn intim. Mengapa harus mempersoalkannya? singkat cerita, teman SMA-ku tersebut lalu membujukku untuk bergabung dengan Citra Husada sebagai relawan Prosesnya sendiri cukup panjang sampai aku mau berkecimpung di situ.

Selama aku bekerja di Citra Hsuada, terkuaklah sehat yang dulu samar-sama tentang suamiku. Dari bergaul dengan teman-teman yang kebetulan gay, aku tersadar adalah sisi gelap manusia yang begitu saja diketahui orang lain. Bahwa penampilan suamiku yang macho yang tampak normal, ternyata menyembunyikan sisi gelapnya sebagai seorang gay. Teman-teman gay yang aku kenal, tidak teridentifikasi sebagai gay bila dilihat dari penampilannya saja, secara fisik mereka adalah laki-laki normal, hanya orientasi seksualnya yang berbeda dari orang normal. Mereka juga bisa punya istri dan anak-anak mereka berkeluarga sebagai atas dasar memang mencintai istriya, tapi sebagian mengaku karena ingin menutupi kelainan seksualnya. Aku sering berdialog dengan mereka dan aku pernah mengatakan" ya … kalian bisa saja berargumen apapun. Tapi yang jelas perempuan jugalah yang pada akhirnya menjadi korban," kataku kepada salah seorang teman gay, "apa sebenarnya yang kalian cari? kepuasan diri?" tanyaku lagi, ia hanya dia tak menjawab.

Optimis

Untuk memahami lebih lanjut, aku juga bertanya kepada teman gay yang biseks (aku berpikir suamiku jenis yang ini) apakah berhubungan seksual dengan sejenis lebih nikmat dibandingkan dengan lawan jenis? mereka bilang sebenarnya sama, hanya orientasi mereka lebih mengarah ke sesama jenis. Secara naluriah mereka mencari dan membutuhkan yang sesama jenis. Aku juga bisa memastikan bahwa suamiku seorang gay ketika seorang teman gay melihat foto suamiku di dompetku, aku kenal suamimu dari tahun ke tahun (sekian) sampai tahu (sekian) aku pernah dekat dengannya, setelah merasa pasti bahwa suamiku itu seorang gay aku kembali mempertanyakan apakah ketidakpuasanku dalam berhubungan intim dengannya akibat ke gay-nya ataukah memang karena kondisi dulunya yang kurang sehat? bukankah orang yang bukan gay pun tidak bisa optimal dalam berhubungan intim kala sedang tidak sehat? sampai saat ini pertanyaanku yang ini belum terjawab.

Kini, aku memfokuskan sisa hidupku untuk anakku dan kemanusiaan. Putraku adalah hiburan dan harapan terbesar bagi hidupku, oh ya ketika bayiku lahir ia memang positif HIV tapi 6 bulan di tes lagi hasilnya negatif. Artinya ia bukan lagi AIDS, ia normal seperti anak-anak lain pada umumnya, dokter menjelaskan ketika bayiku lahir ada sejumlah sel-sel yang mengandung HIV dalam tubuhnya, maka itu hasil tes HIV-nya positif, antibodi HIV yang terbentuk juga masih sedikit. Setelah 6 bulan kadar antibodinya terhadap HIV meningkat itu sebabnya hasil tes HIV-nya menjadi negatif. Kenegatifan ini adakaitannya juga dengan obat antiretroviral yang aku minum selama hamil.

Pada akhirnya orang akan selalu menanyakan apa rencana hidupku selanjutnya? ya, apa yang paling kuinginkan? tidak takut menyongsong kematian? tentu saja yang paling kuinginkan pada saat ini adalah kesembuhan. Itulah yang membuat aku optimis sampai saat ini adalah kematian, aku rasa hampir setiap orang tidak siap untuk mati. Malah ada yang ingin hidup 1000 tahun lagi. Namun dari pengalaman hidupku selama ini terutama pengalaman-pengalamanku setelah dinyatakan positif HIV, aku sadar semua orang pasti akan mati. Bedanya aku menghadapi kematian itu lebih konkret. Orang lain masih belum tahu kapan dia mati, mungkin besok, mungkin lusa, mungkin juga 100 tahun lagi. Mungkin aku mati lebih cepat dari mereka, tapi mungkin juga mereka mati lebih dulu ketimbang aku, jadi bagiku lama hidup seseorang itu tidak terlalu menjadi persoalan. Yang penting orang bisa memakai hidupnya seberapa pendek pun yang diberikan oleh sang pencipta. Di hadapanNya nanti kita mempertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan. Cuma sang penciptalah yang pantas menilai, menghakimi, memberi siksaan atau menganjari surga seseorang.

Keyakinan seperti itu membuatku optimisi menghadapi hidup. Aku kini punya pasangan hidup yang mengerti betul kondisi karena ia juga seorang penderita penyakit yang susah sembuhnya, bukan Odha, ia menderita hepatitis C, ia aktif di yayasan Hati yang dikelolanya, sementara aku aktif di Yayasan Bali Plus. Yayasan ini aku kendalikan bersama 6 teman dengan sumbangan dana dari lembaga donor Australia. Idealisme kami adalah memberdayakan ODHA dengan membangun jaringan Odha secara nasional dan internasional selain itu kami mempromosikan sikap tidak diskriminatif terhadap ODHA kepada masyarakat umum sebagai aktifis aku berkesempatan ke mana-mana, Chiangmai, Malaysia, Australia, Trinidad ( Karibia) adalah wilayah-wilayah yang pernah kukunjungi sehubungan dengan konferensi AIDS. Belum lagi event-event tanah air yang membuatku jadi jarang ada di rumah sakit. Seringnya aku berpergian tetangga-tetangga berkomentar, "katanya sakit, kok malah aktif sekali? itulah mungkin yang namanya takdir.